SENJA itu, hujan turun di bagian utara Italia. Petir berkilat seiring derasnya hujan. Alam seperti tidak bersahabat lagi. Malang, sebuah pesawat dari Lisabon menuju Turin terlanjur mengudara.
Seperti belalang tersapu angin, pesawat nahas itu tak mampu mengendalikan diri. Krasss... Sayap pesawat menabrak Superga, bukit setinggi 670 meter di pinggiran Kota Turin. Pesawat pun meledak dan semua penumpang tewas mengenaskan.
Peristiwa yang terjadi pada pukul 17.04 waktu Italia, 4 Mei 1949 tersebut, merupakan lembar buram sejarah sepak bola Italia. Tak sekadar merenggut 31 jiwa. Lebih dari itu, kecelakaan itu juga memutus rantai sebuah generasi emas.
Bayangkan, 18 dari 31 penumpang yang tewas tersebut merupakan skuad inti Torino, tim tertangguh di Italia dan salah satu tim terkuat di Eropa. Pada saat itu, Torino adalah raja. Juventus atau Milan tak berkutik. Torino berhasil menobatkan diri sebagai juara sejati Italia dengan mengangkangi takhta Serie A dari 1943 sampai 1949 tanpa putus.
Yang lebih tragis, 70 persen kekuatan Timnas Italia juga ada di Torino. Klub berjulukan "El Toro" itu menyumbang 7 pemain untuk "Gli Azzurri". Salah satunya, Valentino Mazzola, kapten dari segala kapten, ayah dari legenda Inter Milan, Sandro Mazzola.
Valentino merupakan pemain paling karismatis di Italia. Pria yang telah mencetak 100 gol di Serie A sebelum umurnya menginjak 30 tahun ini dianggap seperti jenderal oleh teman-temannya. Nakhoda kapal "Gli Azzurri" ada di tangannya.
Hasilnya bisa ditebak. Pascakecelakaan tersebut, pamor Torino langsung padam. Takhta Serie A musim 1949-1950 pun dicuri kembali oleh Juventus. Yang lebih parah, Torino tak bisa lagi mempertahankan kebesarannya—saat itu Torino merupakan salah satu klub paling bergengsi di Italia. Akibat kehilangan kekuatan satu generasinya, Torino terduduk dan tak mampu bangkit lagi sampai saat ini.
Begitu juga nasib Timnas Italia. Setelah pada 2 Piala Dunia sebelumnya berhasil jadi juara, "Gli Azzurri" berubah jadi macan ompong. Hampir semua kekuatannya musnah seiring meledaknya pesawat di Bukit Superga. Hasilnya, pada Piala Dunia 1950, Italia hanya mampu meringis, tersingkir di babak penyisihan, dan Italia baru bisa bangkit lagi 33 tahun kemudian, saat menjuarai Piala Dunia 1982 di Italia.
Undangan maut
Petaka itu berawal dari undangan. Terbetik kabar, Kapten Benfica dan Timnas Portugal, Francisco Jose Ferreira, berniat gantung sepatu. Ferreira lalu mengundang sahabat dan pemain yang paling dihormatinya, Valentino Mazzola, untuk melakukan pertandingan persahabatan di Portugal.
“Aku ingin Torino menghadiri pertandingan terakhirku sebelum aku gantung sepatu. Kalian merupakan klub terkuat di Eropa. Aku yakin, dengan bertanding melawan kalian masyarakat akan berduyun-duyun datang ke stadion,” pinta Ferreira kepada Mazzola. Sang Kapten Torino pun menjawab, “Aku akan minta izin kepada Novo (Presiden Torino). Jika dia setuju maka aku akan datang ke pesta perpisahanmu,” jawab Mazzola.
Manajemen Torino tak keberatan. Asal, Mazzola dkk tetap harus tampil maksimal saat berlaga melawan Inter Milan yang digelar satu hari sebelumnya. Mazzola setuju. Pertandingan berakhir imbang 0-0, tetapi itu sudah cukup bagi Torino untuk memastikan diri keluar sebagai juara.
Pada Minggu, 3 Mei 1949, Mazzola dkk terbang ke Lisabon, Portugal, untuk berduel dengan Benfica. Ribuan orang menonton partai terakhir Ferreira tersebut. Pertandingan berjalan seru. Gol demi gol dilesakkan masing-masing tim. Benfica lebih beruntung. Jawara Liga Portugal itu menang tipis, 4-3.
Keesokan harinya, Tim Torino berangkat pulang ke Italia. Menumpang pesawat jurusan Barcelona-Turin yang transit di Benfica pada pukul 15.15, Mazzola dkk pulang dengan perasaan riang. Mereka benar-benar tidak tahu bahwa malaikat maut telah menunggu hanya dalam hitungan jam. Duh..
Satu jam pertama, pesawat terbang normal. Sayang, saat tiba di langit Italia, hujan turun dengan deras. Badai datang menghantam. Sekitar pukul 16.45, radio bandara Kota Turin mendapat berita dari pilot pesawat bahwa cuaca sangat buruk. Awan tebal menyelimuti Kota Turin. Di daerah Superga, mata pilot hanya bisa menjangkau pada radius 40 meter.
Pilot pesawat dan menara pemantau di bandara Turin saling memberi kabar. Malang tak dapat dihindari. Pada pukul 17.04, sinyal radio dari pesawat tiba-tiba terputus. Pihak bandara pun tak bisa menerka apa yang telah terjadi. Selang beberapa menit kemudian, pada pukul 17.12, kepolisian kawasan Superga memberi kabar bahwa ada kecelakaan tragis. Sebuah pesawat membentur Bukit Superga. Semua penumpangnya tewas mengenaskan.
Italia terperangah. Perih menusuk di semua dada orang Italia. Para legenda sepak bola mereka tewas mengenaskan. Ratusan polisi dan tenaga sukarelawan menyerbu ke lokasi. Mereka mencoba menolong seolah tak percaya bahwa para korban telah tewas. Konglomerat Giovanni Agnelli dan pelatih legendaris Vittorio Pozzo sampai ikut turun ke lapangan untuk membantu sekuat tenaga.
Semua sia-sia. Rantai emas sepak bola Turin dan Italia telah putus. Italia pun menangis. (Yoyok/Soccer)
Info Tragedi Superga
Jenis: Kecelakaan pesawat
Lokasi: Superga, Turin (Italia)
Tanggal: 4 Mei 1949
Korban: 31 orang tewas
Info pesawat
Jenis: FIAT G-212 CP
Perusahaan: Avio Linee Italiane
Daya tampung: 32 orang
Rute: Barcelona–Turin
Kronologi
Lisabon – Berangkat pukul 15.45. (4 Mei 1949)
Bukit Superga – Pulul 17.04. Hujan deras. Penglihatan pilot pesawat terganggu. Pilot coba melakukan pendaratan darurat. Sayang, sayap kiri pesawat menabrak bukit. Pesawat pun meledak.
Para Korban
Turin – Ribuan masyarakat Italia mengadakan upacara penghormatan untuk para korban. Berikut adalah para korban.
Pemain Torino
V Bacigalupo, G Gabetto, V Mazzola, To Ballarin, R Grava, R Menti, D Ballarin, C Grezar, P Operto, Bongiorni, Loik, F Ossola, And Castigliano, V Maroso, M Rigamonti, R Fadini, D Martelli, dan J Schubert.
Manajemen Torino
Civelleri, To Agnisetta, And Egrierbstein, L Lievesley, dan Or Cortina.
Wartawan
R Casalbore, L Cavallero, dan R Tosatti.
Kru pesawat
C Bianciardi, To Pangrazzi, C D' Inca, To Bonaiuti, Colonn, dan Meroni.
No comments:
Post a Comment